Selasa, 10 April 2012

1. PEMBELAJARAN HANYA PADA BUKU PAKET

Di indonesia telah berganti beberapa kurikulum dari KBK menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama dengan kurikulum yang baru. Namun adakah yang berbeda dari kondisi pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak jaman dulu masih memakai KURIKULUM BUKU PAKET. Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Apapun kurikulumnya, guru hanya mengenal buku paket. Materi dalam buku paketlah yang menjadi "ACUAN" pengajaran guru. Sebagian Guru Tidak pernah mencari sumber refrensi lain sebagai acuan belajar.
2. PEMBELAJARAN DENGAN METODE CERAMAH
Metode pembelajaran yang menjadi favorit guru mungkin hanya satu, yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi metode terbanyak yang diapakai guru karena memang hanya itulah metode yang benar-benar di kuasai sebagain besar guru. Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar ? Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan sekitar ? Atau pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu Biaya
3. KURANGNYA SARANA BELAJAR

Sebenarnya, perhatian pemerintah itu sudah cukup, namun masih kurang cukup. Pemerintah yang semangat memberikan pelatihan pengajaran yang PAIKEM (dulunya PAKEM) tanpa memberikan pelatihan yang benar-benar memberi dampak dan pengaruh. Malah sebaliknya, pelatihan metode PAIKEM oleh pemerintah dilaksanakan dengan hanya berupa Ocehan belaka
4. PERATURAN YANG TERLALU MENGIKAT
Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang "membelenggu" kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya. Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada lho RPP dijual bebas, siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang "membelenggu" guru, yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator, dan lainnya
5. GURU TIDAK MENANAMKAN SOAL "BERTANYA"
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak "Dipaksa" mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas. Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
6. METODE PERTANYAAN TERBUKA TIDAK DIPAKAI
Salah satu ciri negara FINLANDIA yang merupakan negara ranking pertama kualitas pendidikannya adalah dalam ujian guru memberkan soal terbuka, siwa boleh menjawab soal dengan membaca buku. Sedangkan Di Indoneisa? tidak mungkin, guru pasti sudah berfikir, "nanti banyak yang nyontek dong," begitu kata seorang guru. Guru Indonesia belum siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan guru sekarang.
7. FAKTA TENTANG MENYONTEK

Siswa menyontek itu biasa terjadi. tapi, guru tidak akan lelah untuk memperingatkannya, Tapi apakah kalian tahu kalau "guru juga menyontek" ? Ini lebih parah. Lihatlah tes-tes yang diikuti guru, tes pegawai negeri yang di ikuti guru, menyontek telah merasuki sosok guru. guru aja menyontek apalagi siswanya.
 
Kacamata tebal dengan bingkai plastik bukan lagi hanya untuk hipster, editor fashion, dan ahli komputer. Dalam dunia kriminal di AS, tampaknya kacamata tersebut menjadi aksesoris terbaru yang digunakan para tersangka untuk meyakinkan para juri bahwa mereka tidak bersalah.

Tahun 2010, lima orang didakwa melakukan pembunuhan berantai di Distrik Kolombia dan saat tampil di persidangan, mereka masing-masing menggunakan kacamata netral (tanpa minus/plus), demikian dikutip Washington Post.

Jaksa penuntut tertarik pada penampilan baru mereka dan membuat mereka menanyakan pada saksi apakah sebelumnya para tersangka memakai kacamata atau tidak, dan para saksi mengatakan tidak.

Rupanya kacamata tersebut jadi alat untuk membuat para tersangka terlihat lebih dapat dipercayai dan tidak terlalu mengintimidasi. Malah, sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam American Journal of Forensic Psychology pada tahun 2008, menemukan bahwa para tersangka Afro Amerika dipandang lebih jujur, intelek, dan tidak berbahaya jika mereka memakai kacamata. Para tersangka dalam kasus pembunuhan di Washinton D.C. di atas, semuanya adalah orang Afro Amerika.

Ini bukan satu-satunya kasus di mana kacamata digunakan untuk mengelabui juri. Harvey Slovis, seorang pengacara pembela yang berada di New York, menyuruh semua kliennya untuk memakai kacamata di ruang persidangan. Menurut Washington Post, Slovis menyebutnya sebagai "pembelaan kutu buku."

Entah apakah kacamata berhasil memengaruhi juri atau tidak, pertanyaannya dari semua orang adalah apakah strategi semacam ini dapat diperbolehkan di persidangan. Apakah ini etis? Beberapa orang menyatakan tidak.

"Kacamata tersebut menunjukkan kamu ingin menyembunyikan," ujar Gladys Weatherspoon, seorang jaksa pembela yang berada di Washington, pada Washington Post. "Kacamata tersebut membuatmu terlihat semakin bersalah karena kacamata tersebut sama sekali bukan ciri khas mereka sebenarnya."

Patricia Jefferies, nenek dari seorang kasus pembunuhan D.C, tidak segan mengutarakan pendapatnya tentang kacamata yang dipakai para tersangka. "Kacamata tersebut memengaruhi juri, membuat juri memandang mereka sebagai anak baik-baik," ujar Jefferies pada Washington Post di luar ruang persidangan.

Menggunakan kacamata agar terlihat seperti anak baik-baik tak hanya marak terjadi di Amerika. Di Indonesia pun banyak tersangka melakukan hal yang sama. Setidaknya contohnya bisa kita lihat di sejumlah persidangan yang melibatkan selebritas. Selain kerudung, kacamata jadi salah satu aksesoris wajib untuk dipakai di hadapan hakim dan jaksa.

Menurut Anda sendiri bagaimana? Benarkah tersangka yang memakai kacamata jadi terlihat lebih alim dan "tak bersalah?"